Kenaikan Anggaran Pendidikan Imbas Pandemi Covid-19
KH. Abdul Ghoffar Rozin, Ketua Pusat RMI Nadhlatul Ulama mengatakan, pesantren dari sisi layanan pendidikan yang cukup besar, masih menunjukkan sikap yang berbeda-beda dalam tantangan pandemi covid-19, “Para pemegang kebijakan mengatakan bahwa yang terkena pandemi hanya dari aspek kesehatan tapi ternyata tidak hanya demikian, berimbas juga aspek pendidikan,” ujarnya.
Ia menyontohkan, ponpes yang mengalami masa vakum yang panjang menciptakan kegelisahan kolektif dari pihak terkait, termasuk tradisi pesantren. Menurutnya, para pedagang yang ada di sekitar pesantren, dan menggantungkan hidupnya pada belanja para santri mengakibatkan perekonomian di sekitar pesantren melemah.
Dari pengalaman tersebut, Gus Rozin meminta pemerintah untuk memprioritaskan belanja kesehatan. Dengan meningkatkatnya belanja kesehatan, pesantren bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah terkait wabah Covid-19. Menurutnya pengetahuan dan praktek protokol kesehatan di tiap pesantren berbeda-beda, untuk pemerintah harus turun melakukan sosialisasi, “Tidak semua pesantren memiliki satgas untuk Covid-19, tidak semua juga bisa melaksanakan protokol kesehatan, tidak semua ponpes juga bisa melaksanakan semua hal itu karena terbatas biaya,” ujarnya.
Rozin mengatakan lebih lanjut, pihaknya kini mendorong pemerintah untuk memperlihatkan kebijakan yang konkrit bagi pesantren. “Setidaknya harapan kami sekitar Rp 8-10 triliun yang bisa dialokasikan ke pendidikan Islam. Mengingat anggaran yang dikeluarkan masih jauh dari cukup, pemerintah perlu mengupayakan langkah lanjutan,” katanya.
Ponpes kini perlu mengembangkan belajar jarak jauh secara online, meskipun terkendala misalnya sinyal, perangkat, dan software. Sementara itu proses belajar offline di pesantren juga pastinya akan berubah, dan itu membutuhkan proses yang panjang.
Sementara itu Dani Pramudya, Satgas Covid-19 DPP LDII yang hadir sebagai narasumber pada webinar menegaskan, pondok pesantren perlu membuat aturan protokol kesehatan terkait pembatasan sosial antar warga pondok. Bagi santri yang telah pulang ke rumah misalnya, tidak diperkenankan kembali ke pondok sampai situasi memungkinkan atau santri tersebut memiliki surat yang menyatakan sehat dari rumah sakit ataupun Puskesmas.
Di pondok pesantren seperti Minhajurrosyidin contohnya, Dani mengatakan sudah ada penyediaan ruang isolasi mandiri bagi yang kesehatannya terganggu. Ruang ini pun sudah dicek oleh pihak puskesmas atau Satgas Covid-19 setempat mengenai kelayakannya dan dipastikan bisa sebagai ruang isolasi. Selain itu disediakan pula ruang simulasi bagi warga pondok pesantren yang reaktif covid-19.
Dani berharap agar bantuan pemerintah kepada pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia bisa segera diupayakan, seperti alat ukur mandiri dan alat pelindung diri yang memadai dan memenuhi standar bagi petugas internal ponpes.
“Standar kebersihan pesantren mutlak dilaksanakan. Jika ada yang mengatakan bahwa alat ukur panas seperti thermo gun berbahaya, dipastikan itu hoax karena alat yang digunakan sudah teruji klinis oleh badan kesehatan,” kata Dani mengakhiri.